Ratusan Anak di Indonesia Terkena Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal: Dampak Hukum Akibat Merugikan Konsumen
Belakangan ini kalangan masyarakat diresahkan dengan maraknya penyakit gangguan ginjal akut yang diderita oleh sejumlah anak di Indonesia. Per 24 Oktober 2022 sebanyak 241 kasus telah dilaporkan dengan angka kematian di atas 57% dan 141 anak meninggal dunia. Peristiwa ini terjadi karena ditemukannya senyawa berbahaya dalam tubuh, yakni ethylene glycol (EG), diethylene glycol (DEG), dan ethylene glycol butyl ether (EGBE) yang diduga terkandung dalam obat-obatan dalam bentuk sediaan cair/sirop di luar ambang batas aman. Saat ini Pemerintah bersama Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan beberapa pihak terkait telah membentuk satu tim guna bertugas mengamati dan menyelidiki kasus tersebut serta menghimbau masyarakat untuk tidak mengonsumsi sejumlah daftar obat sirop yang dilarang sementara
(Sumber: https://www.halodoc.com/artikel/miliki-efek-samping-untuk-sariawan-bpom-bekukan-izin-edar-albothyl)
Mengingat kejadian serupa juga terjadi pada tahun 2018 terhadap salah satu merk obat sariawan yaitu Albothyl. Albothyl ditarik dari pasaran karena terdapat kandungan policresulen. Policresulen memiliki efek samping yang berbahaya dan beresiko bagi kesehatan. Diketahui dapat membawa efek samping seperti sariawan yang kian membesar dan berlubang, bahkan menyebabkan infeksi. Sehingga Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM) membekukan izin edar produk dari PT Pharos Indonesia dan mewajibkan penarikan produk tersebut dari pasaran.
Berdasarkan kedua peristiwa serupa, dapat dipertanyakan bagaimana bisa terdapat kandungan yang berbahaya terhadap produk yang telah beredar luas dan dalam waktu yang lama di masyarakat? Apakah sebuah ‘kecolongan’ atau ‘kelalaian’ ini dapat menimbulkan akibat hukum terhadap pihak-pihak terkait? Dan siapa sajakah yang harus bertanggung jawab akan hal ini? Mari kita bahas!
Menurut Profesor Bimo Ario Tejo, Associate Professor di Departemen Kimia, Universiti Putra Malaysia, dalam BBC News Indonesia, kemungkinan penyebabnya adalah penggunaan bahan baku obat yang tidak memenuhi standar atau yang dikenal sebagai “bahan baku sub-standar”. Para perusahaan farmasi menggunakan bahan baku ini untuk menekan biaya produksi karena terdapat kelangkaan dan kenaikan harga bahan baku yang sesuai standar khususnya di pasar Asia Pasifik, mengikuti lonjakan permintaan dari sektor farmasi yang disebabkan oleh pandemic COVID-19 varian delta. Berdasarkan keterangan dari BPOM bahwa pihak produsen mengubah komposisi obat tanpa mengantongi izin BPOM.
https://nasional.tempo.co/read/1649989/soal-obat-penyebab-gagal-ginjal-akut-pada-anak-bpom-produsen-ubah-komposisi-tanpa-izin
Tentu, hal ini bertentangan dengan regulasi di Indonesia baik yang mengatur secara khusus dalam industri farmasi yaitu:
- Undang-Undang Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan); dan
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) yang mengatur tentang obat-obatan dalam industri komersial.
Mengacu pada Pasal 98 UU Kesehatan yang menyatakan:
“(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau.
(2) Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan dilarang mengadakan, menyimpan, mengolah, mempromosikan, dan mengedarkan obat dan bahan yang berkhasiat obat.
(3) Ketentuan mengenai pengadaan, penyimpanan, pengolahan, promosi, pengedaran sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi standar mutu pelayanan farmasi yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 7 (d) UU Perlindungan Konsumen tentang kewajiban pelaku usaha bahwa:
“Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;”
Berdasarkan pasal tersebut maka jelas bahwa setiap obat-obatan maupun alat kesehatan yang beredar dan dikonsumsi oleh masyarakat harus terjamin keamanan dan standar mutunya sehingga tidak akan menimbulkan kerugian baik secara materiil maupun non-materiil yang akan ditanggung oleh masyarakat. Mengingat bahwa dampak jangka panjang dalam kesehatan masyarakat yang akan menimbulkan masalah dan gangguan kesehatan baik dalam jangka pendek atau panjang bahkan berakibat fatal yang menyebabkan korban jiwa.
Lalu apa akibat hukum yang dapat berlaku apabila perusahaan farmasi tidak memenuhi ketentuan di atas?
Berdasarkan Pasal 28 Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 14 Tahun 2002 tentang Penarikan dan Pemusnahan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat, Mutu, dan Label maka BPOM berhak untuk memberikan sanksi administratif kepada pihak-pihak yang bersangkutan baik secara peringatan, penghentian operasional, hingga pencabutan izin edar.
Selain daripada sanksi administratif yang dikenakan oleh BPOM, pelanggaran ini dapat dikenakan sanksi pidana dan perdata. Merujuk pada Pasal 196 UU Kesehatan yang menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Selain diatur dalam UU Kesehatan, masyarakat sebagai konsumen yang terdampak pada beredarnya obat-obatan yang tidak aman untuk dikonsumsi tentu berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum. Berdasarkan Pasal 19 UU Perlindungan Konsumen yang menyatakan:
- Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
- Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.
- Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
- Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
- Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Lebih lanjut, perusahaan farmasi selaku produsen produk obat yang mengandung EG, DEG, dan EGBE dalam hal ini wajib untuk memberikan pertanggungjawaban terhadap konsumen yang merasa dirugikan sesuai dengan hak dan kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7 huruf f Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan:
“Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan”.
Selain perusahaan farmasi, apakah pihak yang berwenang dalam ranah farmasi dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan BPOM turut dapat diminta pertanggungjawabannya atas kerugian yang dialami oleh masyarakat?
Peran dan Tanggung Jawab BPOM dalam Pengawasan Obat dan Makanan
BPOM merupakan Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan Makanan (Perpres No.80/2017 tentang BPOM). Perpres No.80/2017 tentang BPOM ini memberi mandat BPOM untuk menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang meliputi obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan. Merujuk pada Pasal 3 ayat (1) huruf d bahwa:
“(d) pelaksanaan pengawasan sebelum beredar dan pengawasan selama beredar”
Pelaksanaan fungsi pengawasan yang dilakukan pada obat dan makanan sebelum beredar di masyarakat merupakan sebagai preventive action atau tindakan pencegahan. Hal ini juga dilakukan agar terjaminnya standar dan persyaratan keamanan, khasiat/ manfaat, dan mutu produk yang telah ditetapkan telah terpenuhi dan oleh perusahaan farmasi. Apabila perusahaan farmasi telah memenuhi ketentuan yang berlaku, maka BPOM berwenang untuk menerbitkan izin edar produk dan sertifikat. Selain preventive action, BPOM juga melaksanakan fungsi pengawasan pada saat beredar sebagai langkah untuk memastikan Obat dan Makanan yang beredar memenuhi standar dan persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan serta tindakan penegakan hukum atau law enforcement. Ketentuan-ketentuan ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) Perpres No. 80/2017 tentang BPOM.
Dengan munculnya kasus gagal ginjal ini sehingga mengakibatkan korban jiwa sejatinya mencerminkan lemahnya fungsi pengawasan pemerintah terhadap peredaran obat-obatan di Indonesia, khususnya fungsi pengawasan setelah obat-obatan terdistribusi dalam pasar dan dikonsumsi oleh masyarakat selaku konsumen. Bahkan dapat dikatakan bahwa BPOM lalai dalam menjalankan fungsinya. Sehingga BPOM harus bertanggungjawab dengan melakukan langkah-langkah konkrit untuk mengevaluasi kinerja internal BPOM itu sendiri dan memperketat mekanisme berbagai fungsi dan tugas BPOM dalam pengawasan obat dan makanan, baik secara pencegahan maupun penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tidak hanya terbatas dalam komposisi dalam obat dan makanan, namun BPOM juga perlu memperhatikan pelanggaran-pelanggaran yang berpotensi terjadi saat ini yaitu beredarnya produk non BPOM dan pemberian obat yang tidak sesuai dengan anjuran dokter. Selain itu, bentuk tanggung jawab moral yang sepatutnya dilakukan oleh BPOM yaitu dengan memberikan bantuan baik dalam pengobatan bagi yang masih membutuhkan perawatan dan bantuan dana bagi korban jiwa yang disebabkan oleh kasus ini.
Sumber:
BBC News Indonesia
Halodoc
Tempo.co
Undang-Undang Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan); dan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindnungan Konsumen)
Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan No. 14 Tahun 2002 tentang Penarikan dan Pemusnahan Obat yang Tidak Memenuhi Standar dan/atau Persyaratan Keamanan, Khasiat, Mutu, dan Label